Kamis, 19 Mei 2011

Membangun Keluarga (Mzm. 127:1-5; Ti. 2:4-5)



Saudara, dalam tahap perkembangan manusia, sebagaimana yang telah ditentukan Allah, kita semua menjadi bagian suatu keluarga. Kita mengharapkan keluarga Ukuran keberhasilan keluarga adalah Alkitab bukan seperti yang digambarkan dunia, yaitu sekadar berupa kecukupan materi.
Pertama, apakah keluarga yang berhasil itu? Keluarga yang berhasil adalah keluarga yang dibangun oleh Tuhan bukan manusia (Mzm. 127:1). Lalu, dari segi kepemimpinan, keluarga yang berhasil adalah keluarga di mana suami atau ayah menjadi kepala keluarganya dibawah pimpinan Tuhan Yesus Kristus (1Kor. 11:3; Ams. 12:4). Anggota keluarga harus menghormati suami/ayah (Ef. 5:23) karena dialah yang ditetapkan Allah sebagai kepala (Ef. 5:23). Karena itu, jika ingin berjalan dalam rencana Allah yang indah bagi keluarga Anda, suami/ayah harus berperan aktif dalam mewujudkan keharmonisan dalam keluarga.
Inti dari keluarga adalah suami-isteri yang menjadi satu daging (Mat. 19:5). Dalam prinsip kesatuan ini, suami-isteri harus menjalankan perannya sesuai Alkitab—isteri harus tunduk pada suami; suami harus mengasihi isteri. Kesatuan itu menuntut keterbukaan, komunikasi yang sehat, pengertian, dan juga persekutuan dengan ‘pihak ketiga’ yaitu Allah yang telah mempersatukan keduanya. Jangan sampai keharmonisan keluarga hilang karena hilangnya kualitas itu.
Lagipula, dalam keluarga, ada potensi yang besar, yaitu anak-anak (Mzm. 127:3-4). Potensi mereka sebagai milik pusaka Tuhan, sebagai upah, dan sebagai anak panah sangatlah luar biasa. Namun, potensi itu sangatlah bergantung bagaimana orangtua menjalankan perannya dengan baik.
Kedua, ada ancaman yang coba menghancurkan keluarga yang dibangun dengan benar sesuai Alkitab (Mzm. 127:2). Ancaman itu berasal dari Iblis, setan-setan, dan roh-roh jahat. Dari ayat di atas, ancaman itu antara lain: (1) Mementingkan diri sendiri (Ef. 5:28). Ancaman terbesar pernikahan adalah mencari kepuasan bagi diri sendiri (1Ptr. 3:7; 1Kor. 7:33). (2) Stres—karena kesibukan orangtua dalam ‘mencukupkan kebutuhan’ jasmani dan materi anak-anaknya dan tidak mempedulikan kebutuhan rohani mereka. Iblis bermaksud menyimpangkan atau menyesatkan orangtua untuk mengabaikan anak-anaknya. Orangtua menjadi dingin, tidak peduli, dan hancur sementara anak-anak akan menjadi keras, tidak dipedulikan, dan akhirnya semua jatuh dalam jerat Iblis itu.
Saudara, sebagaimana kita begitu menginginkan dan mengharapkan anak-anak saat sesudah menikah sebagai anugerah Tuhan, demikian juga kita harus memiliki kerinduan untuk melihat mereka hidup di jalan Tuhan dan setiap hari menjadi berkat (Mzm. 37:25-26). Dan selama masih hidup, orangtua perlu memastikan kehidupan anak-anakNya sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada Tuhan. Kitalah yang harus mengarahkan ‘anak-anak panah Allah’ ini sehingga mereka akan mencapai sasaran yang dikehendaki Allah.

1 komentar: